Cerpen : Love in Frame


 
Foto : Flickr.com
Clik... Aku menekan shutter kameraku sekali lagi.  
Sekarang wanita di depan lensa kamera itu mengganti pose untuk ke empat kalinya pagi ini. Kali ini rambut hitam panjangnya digerai kedepan pundak kirinya.  Tangan kanannya memegang topi berwarna biru sedangkan tangan kirinya dibiarkan terjuntai bebas. Dengan dibalut jeans berwarna biru muda kaki kanannya maju selangkah di depan seolah sedang berjalan. Dalam frame kamera tampak baju merah yang dikenakan Naomi dan senyumannya membuat wanita itu terlihat sangat cantik, anggun dan elegan.
Sekali lagi –dengan enggan- Aku coba untuk menekan shutter.
Kali ini jari telunjukku tidak bisa bergerak menekan shutter. Aku coba menghela napas, pikiranku penuh, bukan ini yang aku inginkan, bukan. Bukan dia yang seharusnya berada dalam frame kamera ini. Sudah setahun lebih aku bertahan. Mungkin kali ini aku memang sudah sampai batas. Aku tidak akan bisa menekan shutter lagi. Aku sudah benar-benar kehilangan alasanku untuk menekannya lagi.
“Aku berhenti!!!” aku berteriak dan segera berbalik dan melangkah meninggalkan ruangan pemotretan tersebut.
“Anwar, apa yang kau katakan,” Sepertinya Naomi berjalan dengan cepat kearahku
“Aku bilang aku berhenti.”
“Kamu tidak bisa berhenti begitu saja, kau itu fotografer provesional.”
“Aku fotografer pro sampai beberapa detik yang lalu, sekarang tidak Naomi.”
“Tapi....”
Ctang.... Suara kamera yang ku buang ke tempat sampah menghentikan Naomi  berbicara sebelum kata-katanya selesai. Aku tidak mendengar lagi kata-kata dari Naomi ataupun dari orang lain dalam ruangan itu.
***
Beberapa tahun ini setiap kali melihat ke frame kamera perasaan itu selalu muncul. Geram? Muak? Benci? Entahlah, tapi yang pasti hatiku berkata bukan, bukan, bukan... Bukan itu yang seharusnya berada dalam frame ini. Bukan ini yang aku inginkan saat pertama kali memutuskan untuk menekan shutterku. Ada hal yang membuatku ingin menekan shutterku. Ada hal lain yang aku ingin berada dalam frameku.
***
Saat itu aku di semester pertama kuliahku. Sebuah festival di kampus. Ramai, orang-orang berlalu-lalang. Banyak stand-stand UKM. Aku melewati sebuah stand, sepertinya itu milik UKM teater, orang di depannya memberikan selebaran bertuliskan “teater”. Pramuka, karate, kempo, sepak bola, aku tidak tahu sudah berapa stand UKM yang aku lewati.
Akhirnya aku di depan sebuah stand UKM fotografi. Sangat banyak foto di dinding-dindingnya. Ada foto seorang wanita berambut coklat dengan panjang sebahu di sana. Foto itu mengingatkanku pada seseorang. Seseorang yang sejak dulu aku sukai. Dia akan jauh lebih cantik daripada orang di foto itu. Aku akan bergabung dengan UKM ini dan suatu hari nanti aku akan memfotonya.
Sudah berapa tahun kejadian itu? Mungkin sudah hampir sepuluh tahun yang lalu. Lulus kuliah, bekerja sebagai fotografer, bertahun-tahun selama itu aku tidak pernah bertemu dengannya. Aku hanya terus berharap suatu hari dia berada dalam frame kameraku. Akan tetapi, tiga tahun lalu? Ya, sekitar tiga tahun lalu impian itu terwujud. Ya benar terwujud, aku bisa melihatnya tersenyum dalam frame kameraku, hanya saja  dia tidak sendiri. Dia disana menggunakan gaun pengantin berwarna putih bersama kali-laki yang bahkan tidak pernah aku kenal. Clik..
Sejak saat itu aku terus –dengan enggan- menekan shutterku. Sejak saat itu frame kamera tidak terlihat bagus lagi bagiku. Bos, kawan, orang-orang mengeluhkan penurunan kualitas hasil fotoku. Tak banyak yang bisa aku lakukan. Tiga tahun, sekarang aku sudah mencapai batasku. Sudah enam bulan ini aku tidak menyentuh kamera lagi. Bahkan mungkin tidak akan pernah lagi.
Brak.... Guncangan di mobil kali ini cukup keras untuk membuyarkan lamunanku.
“Pegangan, jangan cuman ngelamun terus, jalanannya sudah mulai jelek,” kata Ali melihat ke arahku dan menambahkan, “tiga puluh menit lagi mobil ini berhenti, selanjutnya butuh waktu satu jam jalan kaki sampai tepatnya.” 
Ali adalah temanku sejak SMA. Dia yang mengajakku ikut dalam kegiatan amal ini. Aku bahkan tidak tahu kemana tujuan kami atau ada apa disana. Aku hanya mengikutinya karena dia mengatakan lebih baik ikut kegiatan amal daripada menganggur hanya menghabisan tabungan dan mungkin bisa sedikit melupakan masalahku.
“satu setengah jam... lama,” jawabku singkat, aku tidak mendengar komentarnya lagi.
***
“ini... apa ini? Aku tau kita kesini untuk kegitan amal, membagikan sembako, obat dan sebagainya... tapi ini... semua yang kita bawa tidak akan cukup,” kataku pada Ali.
“Memang tidak... tapi hanya ini yang bisa kita lakukan daripada tidak sama sekali,” jawabnya sambil tersenyum dengan senyumannya yang sudah tak asing lagi. “lebih baik kita istirahat dulu, kita tidak akan bisa membatu banyak dengan tubuh lelah seperti ini,” lanjutnya.
Aku mengikuti kata-katanya dan pergi  kesebuah tenda yang sepertinya tempat peristirahatan para relawan yang sudah disana lebih dulu. Meski dia yang mengajak istirahat, tapi dia sendiri tidak langsung ke tenda, Katanya sih dia mau pergi menyapa kawan lama dulu.
“Hey, Anwar...”
Aku mendengar suara seorang wanita. Sepertinya aku kenal suara itu. “Naomi?” jawabku saat kulihat wanita itu. “Apa yang kau lakukan disini?” aku menghampiri Naomi di sisi kiri tenda tersebut.
“Menjadi relawan, kami juga membangun tempat belajar disini, setidaknya aku bisa mengajar baca tulis.”
“Seorang model jadi relawan?”
“Menjadi model bukan halangan berbuat baik bukan? Lagi pula  Kau sendiri gimana? Apa kau benar-benar berhenti? Dan apa yang kau lakukan disini?”
“ya”
“tapi kenapa? Bukankah sejak awal ikut UKM fotografi bersama dulu kau selalu berbicara tentang menuangkan rasa cinta melalui kamera, dengan melihat ke frame kamera. Saat memenangkan berbagai lomba kau selalu bilang fotografi bukan cuman tentang Aperture, Eskposur dan sebagainya saja. Kau bilang ini juga tentang rasa, hati, dan cinta yang dilihat melalui frame  kamera...”
“itu dulu, Naomi, sudah lama aku kehilangan rasa pada kamera,” aku memotong kata-kata Naomi. “jangan bahas itu lagi. Lebih dari itu aku ingin melakukan yang lebih untuk tempat ini.”
“ini” Naomi memberikan sebuah kamera padaku.
“Apa?”
“Tempat ini kurang publikasi, mungkin ada banyak orang yang mau membantu jika mengetahui keadaannya. Jadi aku berpikir mengambil gambar dari sini untuk surat kabar, tapi disini ada kau. Anggap saja kau sudah tidak bisa melihat dengan cinta ke frame kamera lagi untuk bunga, alam, model atau apapun yang biasa kau potret. Tapi jika kau ingin berbuat lebih banyak lagi untuk mereka, aku rasa kau bisa melihat dengan cinta ke frame kamera untuk mereka. Lakukan yang terbaik, sampaikan pada dunia apa yang kau lihat disini Anwar.”
“Terima kasih.” Kamera tersebut langsung ku sambar dan aku pun keluar dari tenda tersebut.
***
Kali ini dalam frame aku melihat seorang ibu dan anak yang duduk terlihat bahagia seteah mendapatkan makanan.Clik...
 Selanjutnya aku mengalihkan kamera. Sekarang dalam frame kamera tampak seorang wanita, Naomi. Dia tersenyum membagikan permen kepada beberapa anak disana. Empat hari disini aku menyadari dua hal. Alasan untuk memotret lagi dan dia. Clik...

First