Dibalik Sebuah Pilihan


 Cerpen
Dibalik Sebuah Pilihan
By: Merina Sutrisna M.
“Kamu udah gila kayaknya, Jun,” ujar Eren di telepon.
“Barangkali begitu, Ren. Tapi aku benar-benar serius,” jawabnya.
Seperti biasa percakapan mereka seperti sejak tiga tahun lalu saling mengenal selalu blak-blakkan dan apa adanya. “Tapi, Jun… bukannya kamu sudah di terima menjadi Guru, dan akan mulai mengajar seminggu lagi, sama kayak aku! Terus kamu malah mengabaikannya, karna lebih memilih mengais rezeki dengan bekerja sebagai Guide! Gimana aku nggak bilang kamu gila?!” jawabnya lantang.
“Hei,ini kan malah jadi alasan kuat yang bakal bikin kamu kagum, Junaidi Wiranata, adalah seorang Guide muda yang beribawa. Keren kan Ren?”
“Jun, memang bicara mudah. Tapi itu semua tidak semanis kedengarannya. Atau sebenarnya kamu mau kerja jadi Guaid untuk bersenang-senang dengan cewek-cewek Bule dan meraup uang mereka? Hmm… apa benar begitu?” tuduh Eren.
“Astagfirullahala’zim, ya nggak lah. Semoga tidak dan tidak akan pernah begitu. Aku serius untuk ini! Toh juga penghasilannya bisa di gunakan untuk masa depan kita, kan sebentar lagi kita akan menikah. Ya, kan? Masuk akal tindakanku ini kan, sayang?”
“Jun, penghasilan untuk menjadi Guaid itu belum tentu banyak dan sendirian seperti itu…” jawab Eren masih ragu.
“ya sudah, ikutan aja jadi Asisten aku, hehehe…”
“Baiklah, kalau itu memang maumu, aku turut saja lah.”
“Hahaha, gitu dong. Tenang saja Ren, aku janji akan berusaha bertahan sepenuh tenagaku kok.” Jun akhirnya memilih jalan hidup ini. Bukan jalan yang ia sepenuhnya cita-citakan, menurutnya dengan cara inilah ia bisa memberikan yang terbaik. Sebenarnya ia memilih jalan menjadi seorang Guide karena ia ingin membantu kehidupan para nelayan yang semakin hari semakin susah. Hal ini disebabkan karena keadaan laut yang semakin hari semakin miskin karena ulah tangan manusia yang tak bertanggung jawab. Mereka merusak kehidupan bawah laut menggunakan bahan peledak untuk menghasilkan ikan yang jumlahnya besar. Waktu pun berlalu, tiga bulan sudah ia bekerja. Kerja keras dan komitmennya membuat ia cukup baik dalam pandangan orang-orang terdekatnya, terutama para nelayan dan tamu - tamunya.
Siang itu, Jun akan menemani tamunya yang akan menikmati keindahan pantai Kute. Namun, sebelumnya ia pulang ke rumah untuk menemui Eren karna ada sesuatu yang harus ia bicarakan. “Apa yang mau kau bicarakan?, Jun,” tanya Eren penasaran.
 “Sekarang semuanya serba susah. Aku prihatin melihat kehidupan para nelayan sekarang, untuk mendapat ikan saja mereka sangat sulit, udah gitu harga ikanpun tak seberapa” kata Jun lirih.
“Ya ampun Jun, kok bisa begitu? ” Ujar Eren.
“Penyebab utama merosotnya hasil laut ini karena penggunaan bahan peledak yang semakin meningkat akhir-akhir ini. Dua tahun yang lalu, ikan di pantai sangat melimpah ruah. Kata orang kalau mau makan ikan, naikkan dulu panci diatas tungku baru turun memancing”, tambah Jun.
“Masyaallah, benarkah begitu,? Mengapa orang orang itu sangat tega menggunakan bahan peledak. Mungkin, mereka masih tidak memiliki kesadaran, ” kata Eren.
“Maka dari itu sekarang aku harus bertindak supaya mereka menghentikan perbuatannya itu.” Jun kesal.
Jangan berani menentang mereka, nanti kamu kena batunya, Jun”.
“Disinilah kelemahan kita terlalu takut dengan ancaman, biarpun nyawa ini taruhannya aku siap Ren asalkan masyarakat nelayan bisa hidup tenang dan damai.”
“ Ya sudah, terserah dirimu saja.Mulai sekarang kamu harus selalu berhati-hati, kalau bisa pulangnya tidak usah terlalu malam. Hendaklah ingat-ingat benar dalam hal apapun jua, Jun. Ingat sebelum kena, hemat sebelum habis!,” pinta Eren.
“Baiklah Ren, saya akan berhati-hati. Kalau gitu saya harus balik, karna Carlos sudah menunggu di sana,” kata jun sambil berlalu.
Keindahan pantai Kute membuat Jun terlena. Iringan ombak beriak. Hamparan pasir putih membentuk lengkungan laksanakan alis mata manusia dan mengikuti alur pantai yang diselingi dengan tebing-tebing batu karang yang terjal. Pada bagian lain membentang hutan bakau yang rimbun dan hijau. Akarnya kokoh mencengkram dalam lumpur. Barisan pohon bakau tersebut menjadi semacam benteng hidup melindungi bibir pantai dari pengikisan ombak yang terus menghantam. Di emperan garis pantai di mana ombak yang beriak berkejar-kejaran, di sekitar itu biasanya para remaja, kanak-kanak, maupun orang dewasa bermandi-mandi.
Laut telah memberi kehidupan kepada para nelayan itu turun menurun. Mereka hidup dari keramaian alam. Mereka telah menyatu dengan birunya laut. Tetapi, kini mereka hampir tergusur. Laut yang ramah kini terancam. Penggunaan bahan peledak oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab telah mengancam sumber kehidupan masyarakat di sini, bisiknya dalam hati.
Waktu isya’ sudah tiba, suara adzan berkumandang dengan merdunya. Bulan muda berbentuk sabit telah bertengger di puncak bukit sebelah barat. Bukit yang berdiri kokoh itu terlihat samar-samar dari kejauhan. Jun baru pulang mengantar Carlos tamunya yang berasal dari Negeri Belanda balik ke Hotel tempat ia menginap. Setelah itu, ia bergegas menuju Mushola guna melaksanakan kewajibannya. Tidak lama kemudian Jun beranjak dari Mushola dan segera mempersiapkan diri untuk pulang ke rumah.
“Bu, Jun mau pulang, jangan lupa buatkan Pecal spesial ya, soalnya pengen banget makan Pecal buatan ibu,” kata Jun di telepon.
 “Ya sayang, hati-hati . O ya, udah kasih tahu Eren kalau kamu mau pulang sekarang?” tanya ibunya.
“Belum bu, nanti dah saya telpon dia,” jawab Jun.
“Baiklah, sekalian suruh dia datang ke rumah, ibu rindu sama dia, soalnya belakangan ini dia sibuk sekali dengan kerjaannya.”
 “Oke, bu,” Ia pun menutup telponnya.
“Ren, sekarang saya pulang, terus kamu di suruh ibu datang ke rumah, katanya dia rindu sama kamu, sekalian kita makan pecal di sana, kan kamu juga hobi sama pecal buatan ibu, ya, kan?”
“kenapa sih pulangnya harus malam, memangnya kamu ndak takut?”
“Ya ndak lah, aku kan sudah biasa pulang malam!”
“ Tapi, aku capai khawatir, Jun! Memuaskan kamu dalam keinginanmu bekerja sebagai Guide, yang alhasil kamu tambah kurus, hitam. Tapi aku peduli sama kamu, dan aku nggak mau lihat kamu kayak gitu, belum lagi selama ini Jaswan berusaha untuk mencelakakanmu. Apa kamu lupa hah? Apa kamu nggak peduli kalau suatu saat Jaswaan ingin membunuhmu?, aku nggak mau kehilangan kamu, Jun!”
Jun terdiam.Belum pernah Eren berterus terang seperti itu. Jujur terhadap perasaannya. Ia memilih jalan bekerja menjadi seorang Guide tapi ia tak sadar betapa itu menyakiti hati Eren. Tiba-tiba sambungan telpon mereka terputus. Eren yang menutup sambungan. Wajar pikirnya, pasti dia marah dengan pilihannya selama ini. Jun bergegas pulang. Ia harap dengan kepulangannya kekhwatiran Eren sedikit mereda. Sebelumnya ia membelikan bunga mawar untuk Eren sebagai tanda cinta dan permohonan maafnya. Jun sudah memutuskan untuk berhenti menjadi Guide dan akan mencoba untuk membuka Les Privat Bahasa Inggris. Keputusannya ini akan ia sampaikan kepada Eren dan Ibunya. Sunyi malam memagut saat ia masih berada di pertengahan jalan menuju rumah, tepatnya di jalan Tune. Bintang-bintang yang tadinya menghiasi langit mulai menghilang dan gerimis tipis mulai turun.
“Sebaiknya ku percepat kecepatan motorku, supaya aku tidak di guyur hujan yang sebentar lagi akan turun” kata Jun dalam hati. Ia pun menuruti kata hatinya. Ketika jarak rumahnya semakin dekat ia merasa rem motornya tidak bisa di kendalikan, ia kehilangan arah, kecepatan laju motornya semakin menjadi-jadi karna ia menuruni tanjakan yang cukup tinggi, Jun mencoba untuk mengendalikan motor dengan sekuat tenaganya. Namun, sia-sia, jalan yang sudah licin akibat air hujan membuat ban motornya meleset dan iapun tersungkur dari motornya dan jatuh , seketika itu sebuah hantaman benda tajam terasa di perutnya. Darah hangat mengalir dari perutnya. Hujan makin deras… kesadaran Jun makin terbatas… pandangannya menatap pada setangkai bunga mawar yang di beli untuk calon istrinya, kemudian diam.
Previous
Next Post »